Monday, August 6, 2007

Chapter Two



Wyoming, USA, Present

Resor Grand Teton terletak di ujung selatan ekosistem Taman Nasional Yellowstone dan Taman Nasional Grand Teton. Suatu daerah pegunungan yang luas dengan dataran bersungai yang ditumbuhi rumputan hijau serta sage - tumbuhan yang daunnya harum, biasanya digunakan untuk bumbu. Merupakan hutan lindung nasional, dan juga sebagai hutan perlindungan bagi satwa liar. Daerah ini kaya dan bervariasi ekosistemnya sehingga menjadi tempat aktivitas wisata yang menarik baik bagi wisatawan domestik maupun dunia.

Dari ketinggian 7.000 kaki (sekitar 2,135 metres) di atas permukaan laut, resor ini terlihat hamparan dataran luas dan areal penggembalaan ternak.

Di seberang lembah adalah Teton Pass, yang membagi the Snake River Range dari the snow - capped Tetons. Teton Range adalah bagian dari Pegunungan Rocky yang paling muda. The snow - fed waters of the Snake River bertemu di Yellowstone Plateau dan angin selatan bertiup melalui Jackson Hole. Kata “Hole” (seperti pada Jackson Hole) konon digunakan untuk mendeskripsikan lembah-lembah dari gunung yang tinggi.

"Di mana aku meletakkan files itu ya?" tanya Mrs. Sandra kepada dirinya dalam hati.

Setelah sesaat membolak-balik isi tas kerjanya, GM (General Manager) Grand Teton Hotel itu berseru:

"My goodness, betapa pelupanya aku sekarang!"

"Honey, tolong ambilkan laporan tahunan hotel kita di meja kerja ibu, ya."

"Baik Bu, segera."

"Terima kasih sebelumnya ya. Maaf jadi merepotkanmu, ibu kelupaan memasukkannya tadi ke dalam tas."

"Tidak apa, Bu. Dengan senang hati koq." jawab diA sambil tersenyum tulus dengan wajah ceria.




diA memang menarik.

Usianya dua puluh lima tahun. Tubuhnya sedang, dengan tinggi seratus enam puluh dua sentimeter. Hidungnya mungil menggemaskan. Rambutnya hitam panjang bercahaya. Kulitnya putih kekuning langsatan. Sangat halus.

Matanya hitam kecoklatan bersinar dengan bulu mata yang lentik indah. Sorotnya tajam namun tetap teduh menunjukkan kematangan karakternya. Bibirnya penuh, merah jambu. Sangat seksi. Giginya putih bersih rapi, karena rokok dan kopi tidak disentuhnya sama sekali.

Dadanya lumayan berisi, dengan (maaf) buah dada yang bulat padat. Pinggangnya ramping dengan pantat yang serasi, dan sepasang kaki panjang. Wajahnya yang sangat rupawan tampak wajar dan alamiah.

Kariernya memang cemerlang.

Sejak bekerja di resor itu empat tahun silam, hanya dalam waktu dua tahun jabatan Housing Departement Manager dipercayakan padanya. Tanggung jawab kerja dengan memimpin 35 orang ditaruh dipundaknya.

Semua dilaluinya dengan sempurna. Kini, tugas sebagai GM menantinya. Bila tak ada aral melintang, mulai tahun depan diserahterimakan kepadanya menggantikan pendahulunya, Mrs. Sandra Halle Dobson. Beliau adalah sahabat sekaligus ibu angkatnya di Amerika.


***

Hidupnya penuh petualangan. Kehidupan yang diidamkan banyak orang. Kehidupan penuh tantangan dan pengalaman. Ada semacam energi dan gairah baru saat bepergian mengarungi perjalanan. Apalagi menuju ke dunia baru, tempat yang mana belum pernah kita jelang.

Hmmm, sangat menggairahkan dan membahagiakan!!!

Masa kecil dihabiskannya di Riau, Sumatera, dengan kedua orang tua dan adiknya.

Sayangnya, keluarga bahagia itu tidak lah lama bersama. Pertikaian yang melanda menyebabkan ayah-ibunya memutuskan jalan yang berbeda. Singkat cerita, konsekuensinya, sekolah menengah pertama ditempuhnya di Jakarta, tinggal bersama bibinya.

Tiga tahun berselang, diA memutuskan melanjutkan studinya di Yogyakarta. Sekolah menengah atas favorit di kota Gudeg itu menjadi pilihannya. Kehidupan mandiri pun dijalaninya. Inilah yang sedikit banyak membentuk dan mematangkan ketegasan dan 'keteguhan hatinya'. Sedikit keras kepala bahasa halusnya. Hahaha.. ^_^

Kota damai yang kental budaya dan nilai-nilai khas Jawa-nya itu di'cemar'kan oleh kehadiran diA. Kenapa? Pembawaan apa adanya dan terkesan semau gue-nya jelas-jelas bertolak belakang dengan kebudayaan lokal setempat. Budaya basa-basi, sopan santun, ramah, halus, dan teratur 'diporak-porandakan'nya selama tiga tahun menimba ilmu di SMU khusus wanita yang lumayan terkenal di seantero Nusantara.

Sebagai siswa diA cukup popular di kalangan remaja. Posisi Mayoret marching band sekolah pernah direngkuhnya. Suatu ‘jabatan’ yang cukup prestis. Selain itu aktivitas luar sekolah lain diikutinya pula. Kursus di Lembaga Bimbingan Bahasa Perancis dan Inggris ditempuhnya, juga bergabung di klub fotografi amatir sempat dijalaninya pula.

Selepas bangku SMU, kembali ibukota ditinggalinya. Tapi hanya untuk sementara waktu saja.

Atas kesepakatan bersama, ayah dan ibunya memutuskan menyekolahkannya ke Swiss, sesuai keinginan dan cita-citanya. Hotel Institute Montreux (HIM) menjadi pelabuhan selanjutnya.

Institut yang mempunyai reputasi hebat akan Hospitality Education-nya itu didukung dua kampus spektakuler.Hotel Miramonte dan Hotel Europe, demikian nama keduanya, terletak di pusat kota metropolitan Montreux, yang dikenal sebagai “Pearl of Switzerland”, membuat para siswanya hidup sangat cocok dan baik.

Wilayah itu menawarkan banyak pilihan sight-seeing seperti museum-museum, istana-istana, festival-festival dan berbagai ekshibisi. Stasiun kereta utama, kantor pos, pusat perbelanjaan, kedai-kedai kopi, restoran dan pub, serta yang paling terkenal adalah “Quai des Fleurs”. Kesemuanya dapat dicapai berjalan hanya sekitar lima menit saja jauhnya dari sekolah.

Univeritas ditepi danau Geneva yang tenang asri di pegunungan Alpen yang sangat indah menawan itu menjadi rumah selanjutnya, tiga tahun lamanya.

Italia, Perancis, Jerman, hingga menyeberang lautan ke negerinya Pangeran Charles dan Harry Potter bersama Higsworthnya, Britinia Raya, menjadi daerah berikut yang ditinggali jejak langkahnya.

Selain berwisata sambil menambah pengalaman, waktu-waktu kunjungan itu dimanfaatkannya juga untuk mempelajari bahasa setempat.

"..sembari menunggu izin tinggal di Eropa gua berakhir...", demikian penjelasannya.

Tidak lah heran bila dalam usia yang relatif muda, banyak bahasa dunia telah dikuasainya.

Indonesia, sebagai 'bahasa ibu'-nya, English, French, dan Spanish fasih dilafalkannya.

Ditambah sedikit Jerman,beberapa kosakata populer Italia, dan agak amburadul bahasa Jawa dan Sunda.?! Hahahaha..

Selain bahasa yang sudah ku singgung di atas; bahasa prokem, alias bahasa gaulnya anak Jakarta sangat kentara dari logat bicaranya. Setiap kali bertemu kata:

"elo, gue, bokap, nyokap, gile, aje,"

dan sebangsa serta setanah airnya selalu meluncur dari bibirnya yang penuh berwarna merah jambu menggemaskan itu. Sungguh, aku tidak mengada-ada. hahaha..

Ibukota Catalunya; Barcelona, Spanyol, menjadi persinggahan terakhirnya sembari menunggu izin tinggal di Eropanya berakhir. Sekitar setengah tahun dihabiskannya disana dengan mempelajari bahasa Perancis sambil melancarkan kemampuan Spanish-nya.

Disanalah aku menemukannya.

Menemukan diA kembali setelah lima tahun tak bersua. Pertemuan lewat dunia maya, sungguh tak diduga bahkan terlintas dibenaknya.

"Duhh, mimpi apa ya gue semalem..", begitulah responnya.

Masa itu diA sedang berjuang melamar pekerjaan ke berbagai hotel di beberapa negara. Keinginannya bertahan di Eropa tak kesampaian. Padahal tawaran kerja dari sekitar lima hotel keren di Spanyol datang menghampirinya.

"Di Spain jarang ada orang yang bisa English. Gue menangnya bisa tuh language biar serabutan. And gue lulusan Swiss, biar pun Diploma. Tapi ya tetep aja gue nggak bisa kerja. So, gitu deh makan dari ati 'ampe makan jantung rasanya. Mau nangis juga udah nggaak bisa stock air mata udah abis...", begitu keluh kesahnya padaku.

Sayang memang.

Kefasihan bahasanya, meski kemampuannya serabutan sekalipun, seharusnya memberi nilai plus bagi Curicullum Vitae-nya. Ditambah lulusan perhotelan Swiss, meskipun ‘hanya’ bergelar Diploma membuatnya lebih memiliki nilai tambah.

Ya, tapi itulah kenyataan.

Kebijakan legalitas memang terkadang justru malah menghambat ruang gerak manusia untuk berekspresi dan berkarya.

Tapi diA tak mau menyerah. Hotel di Indonesia pun dicobanya. Dari sekian hotel yang dikiriminya surat lamaran, hanya ada dua yang memberikan respon cukup menggembirakan.

Pertama dari sebuah hotel berbintang lima di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

diA menolaknya karena tidak diberi fasilitas apapun bahkan gaji selama masa training.

Kedua, dan yang ini adalah yang paling didambakan, dari Ubud Danis Hotel, salah satu resor miliki jaringan terkenal dunia, 'Danis Hotel'. Kali ini diberi fasilitas tempat tinggal seperti apartemen hingga mobil, kecuali gaji.

Enam bulan berselang, diA lalu dikirim ke Wyoming untuk bertugas disana.

Untuk berapa tahun belum tahu.

Sejak itulah diA bekerja di Grand Teton Hotel, yang merupakan chain Danis Hotel juga. Sebuah hotel yang berada di daerah wisata bersalju di Wyoming, Amerika Serikat; di mana skiing menjadi hiburan utamanya.

(bersambung.....)

Thursday, August 2, 2007

Pertemuan & Perkenalan

Chapter One




November 8, 1997
Malam itu udara lembap-entah mengapa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Aku tiba di rumah Tyas, teman sekolahku, sendirian ditemani motor buntut kesayanganku. Hawa dingin yang lumayan menusuk tulang membuatku menutup rapat jaket yang kukenakan meski sudah tiba di halaman rumahnya. Maklum lah, musim hujan telah menyapa sejak Oktober lalu.

Setelah memarkir motorku di halaman depan, segera ku melangkah masuk ke dalam rumah. Tyas, sang yang empunya gawe menyapa hangat, "Hai Jok, pa kabar?".

Joko adalah panggilanku sewaktu SMP. Kenakalan masa remaja, membuat anak-anak sezamanku memakai nama orang tua kami sebagai nama panggilan masing-masing. Lucu memang. Bahkan tak sedikit yang tetap 'keceplosan' saat berkanjang ke rumah teman. Sehingga, tak sedikit pula yang menjadi malu saat dengan tanpa dosa menanyakan adakah si Ani atau si Budi di rumah, namun dengan tidak sadar malah menyebutkan nama orang tuanya. Karuan saja Sang bapak atau ibu teman tadi lah yang datang menemui.

Baru setelah orang yang tidak diharapkan itu muncul, anak-anak menyadarinya dengan penuh malu bercampur takut. Tapi terlambat lah sudah. Orang tua itu mengerenyutkan dahinya dengan pandangan mata penuh selidik dan tersirat sedikit amarah. Seakan-akan sedang mengingat-ingat adakah mereka mempunyai kenalan sekecil dan sekurang ajar seperti kami ini. Hahaha... Geli bila mengingat kejadian-kejadian itu.

Setelah kujawab sebentar sambil berbasa-basi tulus, aku dipersilahkannya masuk. Namun ku tak langsung memenuhinya. Di teras ku bertemu teman-teman lama. Bercanda ria dan bernostalgila, ehm, I mean: bernostal-gia, G-I-A, dengan mereka. Ha-ha-ha.. Dari sabang sampai Merauke yang berjajar pulaunya kami bersendawa. Obrolan 'ngalor-ngidul' mulai dari studi, pacar, aktivitas kesibukan masing-masing sekarang, hingga sekedar mengulang kisah-kisah konyol namun menggelikan di waktu yang lampau sangatlah menggairahkan.

Sudah cukup banyak orang yang hadir di rumah yang besar itu. Rumah yang interiornya dipenuhi beragam perabotan dari kayu. Mulai dari kursi dan meja duduk di teras, hingga berbagai pigura cantik yang menghias interior rumah.


[pukul 7 malam]
Dentangan jam ding-dong mengejutkan dan menyadarkan kami bahwa acara harus segera di mulai. Malah seharusnya sudah se-dari tadi. Pada kartu undangan yang dibagikan tertulis jelas bahwa acara di mulai 17.30.

Tapi itulah Indonesia, tanah air kita tercinta di mana kita berjanji padanya untuk menjunjungnya. Tak tahu seberapa lama lagi kita masih kuat melakukannya?!! Hahaha.. Upshh, sorry, i'm only kidding. ;-)

Di dalam ku bertemu Shinta, teman lama yang sedang berbincang asyik dengan seorang gadis yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Gadis itu tidaklah cantik, namun sungguh mempesona. 'tuk sesaat ku diam terpana.

Sepasang matanya yang lembut menatap dan menyapaku hangat.

"Ya, TUHAN, dialah wanita terindah yang pernah kutemui selama ini!"

Bukannya mengada-ada, tapi aku boleh menghabiskan sepanjang hidupku 'tuk mencari gadis sepertinya, tapi tidak akan pernah ku berjumpa. Begitu bagus kesanku mengenainya, begitu sempurna.


Peristiwa itu mengubahku selamanya. Cinta sejati, meski hanya dari satu sisi, memang meninggalkan efek seperti itu pada diri seseorang. Tak terkecuali bagi diriku.

Aku, seorang yang tak pernah mempercayai cinta pada pandangan pertama, harus menjilat ludahku kembali dibuatnya. Ya, sungguh. Aku yang sebelumnya tidak pernah merasakan yang namanya cinta, menjadi tahu karenanya. Dan itu hanya satu kali saja.

Seorang pastor dulu pernah berkata, bahwa begitu kita jatuh cinta untuk pertama kalinya, kehidupan kita akan berubah selamanya. Betapapun kita berusaha, perasaan itu tidak akan pernah sirna dan bisa dihapuskan. Apapun yang kau lakukan, dia akan tetap ada di hatimu selamanya.

"Demikian juga adanya cinta TUHAN kepada manusia...", saat pastor itu melanjutkan kalimatnya, aku terhenti dan diam terpaku pada ucapan sebelumnya. Benar juga gumanku.
Sejak bertemu diA, Aku tak pernah sama. Bayangan kesempurnaannya menghantui hidupku. Momentum ketepatan kehadirannya membuatku makin yakin bahwa dialah penyelamatku, utusan Sorga; kalau itu bukan sekedar mitos belaka.


(bersambung...)

Bagian Kedua

......... Sewaktu aku berumur 17 tahun hidupku berubah untuk selamanya. Aku tahu dan paham ada orang-orang yang penasaran padaku saat aku mengatakannya. Mereka menatapku dengan heran seakan mencoba membayangkan apa kiranya yang terjadi ketika itu, meskipun aku jarang berusaha menjelaskannya.

Kisahku tidak dapat dirangkum dalam dua atau tiga kalimat saja. Tidak dapat dikemas secara ringkas dan sederhana sehingga orang-orang dapat langsung memahaminya.

9 tahun telah berlalu, namun aku masih bisa mengingat semua yang terjadi pada masa itu dengan detailnya. Aku masih sering memikirkan kejadian di waktu itu, membayangkannya kembali. Aku menyadari bawa setiap kali aku melakukannya, saat yang menyenangkan juga akan ikut hilang. Jadi aku menerima semua kenangan itu apa adanya, mensyukurinya bahwa aku beroleh kehormatan untuk mengalaminya, dan membiarkannya menuntunku setiap kali ku bisa.

Membiarkan pengalaman itu menjadi salah satu kenangan indah yang menjadi bekal dalam mengarungi petualangan hidup yang sangat menggairahkan ini. Meski perjalanan hidup penuh rintangan terjal, bahkan bebatuan tajam disertai angin topan dan badai yang mengamuk garang di waktu pagi maupun petang, namun kenangan tak terlupakan yang sebentar akan kuceritakan memampukanku berjalan melewati lembah kelam maupun gunung tinggi yang menjulang.

Aku menghela napas, dan merasakan semuanya kembali. Mataku terpejam dan waktu itu mulai bergerak merasukiku kembali. Perlahan-lahan mundur ke masa lalu, seperti jarum jam yang berputar ke arah berlawanan.

Berikut adalah kisahku dengan seseorang yang sangat spesial di mataku, seseorang yang masuk dalam hatiku sejak zaman SMA, 9 tahun lalu. Sejak saat itu, aku putuskan bahwa dia tak akan pernah kuizinkan untuk keluar lagi untuk selama-lamanya.


***

(bersambung....)

Aku & diA

PROLOG

Namaku Aku.

Pekerjaanku sebagai penulis lepas, baik untuk sejumlah media massa maupun penulisan sastra seperti cerpen, cermin, novel hingga naskah film.

Dari kecil ku sudah terbiasa membaca dan menulis.

Ayahkulah yang mengajariku.

Perpustakaan minimalis tersedia di rumah kami. Tidaklah sempurna, namun tersedia cukup banyak buku, majalah, hingga berbagai macam surat kabar yang bisa dijadikan referensi untuk berbagai penulisan.

Selain itu ada pula banyak karya tulisnya yang belum terpublikasikan - karena memang ayah bukanlah seorang penulis terkenal - masih tersimpan rapi dalam sebuah rak penyimpanan di sudut ruangan.

Kenapa profesi ini yang ku pilih?

Nanti ku ceritakan panjang-lebar.

Aku berjanji, karena hal ini berhubungan erat dengan kisah yang sebentar ingin ku bagikan.

(Bagian Pertama, bersambung....)